Terdampar di kota sebesar New York City, diantara keramaian penduduk dan turis-turisnya dan diantara tumpukan pekerjaan yang menggunung, bisa membuat seseorang sangat kesepian.  Apalagi saya yang pindah dari sebuah kota kecil di Upstate New York yang malah selalu “ramai” karena kami sekelas semuanya penduduk perantauan.  Tidak ada hari tanpa mengerjakan tugas bersama atau makan pagi/siang/malam bersama.

Ghosting 1

Pindah ke kota yang ramai tapi cukup individualistic seperti New York City, ternyata can be very lonely.

As cliché as any story starts, akhirnya, saya bertemu seseorang melalui teman-teman baru saya di New York. Ini hal yang paling utama dilakukan kalau pindah ke kota baru: Cari anak Indonesia.  Kadang, anak-anak yang sudah tinggal disana juga sudah duluan tau.  “Eh, ada anak Indonesia baru.  Ini temennya si X” dan dari situ, biasanya kita akan terhubung dengan puluhan anak Indonesia yang akhirnya jadi mengerucut menjadi beberapa teman dekat.

Ketika pulang dari pertemuan itu saya akhirnya dihabiskan berjalan menyusuri 30 blok antara Lower East Side dan Mid Town Manhattan, itu mah diluar rencana saya.  Jangan tanya kenapa relationship saya selalu harus dimulai dengan pembicaraan yang nyaman dan nyambung untuk sekian lama.  Saya belum pernah mengalami kisah seperti Snow White yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada Prince Florian dan bersedia langsung diangkut ke istana setelah ciuman pertama.

Ghosting 2

Hari-hari saya tidak terlalu sepi lagi setelah itu, walaupun sekarang saya menyadari saya tidak merasa kangen padanya ketika pekerjaan sedang menumpuk. My true love was still my job, apparently. Saya juga banyak missed little signs bahwa mungkin, hubungan ini sebenarnya bermasalah.  Tidak lama setelah mulai bekerja, saya harus menghadapi tantangan untuk tetap bertahan di tempat pekerjaan saya yang saat itu digempur masalah hukum dan sebagai pegawai tahun pertama (pegawai asing yang perlu sponsor visa pula), saya menjadi calon kuat untuk menjadi bagian dari mereka yang kehilangan pekerjaan dan tidak dibawa oleh para partner saya ke firma yang baru.  Hanya satu hal yang ada di kepala saya saat itu: I must survive!

Luckily, saya mendapat klien yang cukup high profile dan merupakan klien kebanggaan partner utama saya.  Ya sudah, walaupun sampai jam 11 malam setiap malam pun saya kerjakan demi si klien.  Sempat tersadar, eh, kok aku belum denger kabar dia yah? Gak apa-apa lah, besok saja.

Ghosting 3

Kalaupun ada weekend dimana saya masih kosong, saya dan dia bisa bertemu. Ngobrol, nonton dan makan malam, tapi kudu ketemu, atau kudu ngedate, sama sekali gak ada di kamus saya saat itu.  Hingga suatu hari, ketika masa depan pekerjaan saya sudah mulai tampak jelas dan partner saya sudah secara resmi menawarkan posisi di Firma yang baru, saya baru sadar:

“eh, wait! Kapan yah aku terakhir ngobrol sama si dia?”

Ketika incoming calls di cell phone saya menunjukan data dari 3 minggu sebelumnya, saya mulai bertanya-tanya. Beberapa kali saya coba hubungi teleponnya tidak diangkat ataupun message saya tidak di balas.

“Jadi? Gimana, gimana? Apa yang terjadi ini?”

Ya tepat sekali Observer… saya sudah sukses di ghosting!

Tapi yang ajaib, saya tidak menemukan dorongan dari diri saya untuk mencari dia atau nyusul ke rumahnya.  Berbagai excuse saya berikan untuk diri saya sendiri:

  1. Que sera sera (Kalau jodoh mah gak bakal kemana)
  2. Saya lupa-lupa ingat jalan ke rumahnya (dia tidak tinggal di Manhattan tapi di suatu neighborhood di Brooklyn yang sebagai penduduk anyar New York, saya sangat tidak familiar)
  3. Ntar disangkain nagging

Semua alasan di atas adalah lame excuses obviously! Saya sendiri bingung kenapa saya seperti numb dan gak berasa apa-apa ditinggal menghilang gini.. padahal orang normal pasti kebakaran jenggot kalau di-ghosting!

Sekitar dua – tiga minggu setelah dia menghilang, saya sedang menghabiskan weekend bermalas-malasan sambal ketawa ketiwi dengan teman-teman dekat saya dari sekolah dulu yang sedang berkunjung ke Manhattan ketika bel apartemen saya bunyi.  Ketika dia melangkah masuk tanpa perasaan bersalah sambil merangkul dan mencium pipi saya sambil berkata “Hi you! How are you?”, mata saya hampir keluar saking kagetnya.

Teman-teman saya pun ekspresinya sudah mulai tidak dapat dikendalikan.

Pacar saya itu sudah merubah seluruh penampilannya.  Cara berpakaiannya yang biasanya rapih dan khas anak gaul, kini jadi santai dengan sneakers.  Yang bikin shock, kini rambutnya hilang, digantikan dengan sejalur mohawk! Yep, mohawk. Self-made mohawk nonetheless.

What’s really wrong about this relationship was the fact that these were just two merely lonely people. Ketika sebulan kemudian dia menyampaikan pada saya bahwa dia akan kembali ke Indonesia for good, kembali saya tidak merasakan apa-apa.

“Oh, oke!”

Kali ini judulnya ghosting for good.

Sampai detik ini saya tidak merasakan yang namanya sakit hati, penyesalan atau sejenisnya.  Saya juga menyadari tidak ada usaha dari pihak saya untuk mempertahankan, bahkan di dalam hati kecil, ada rasa terima kasih dia sudah menghilang alias meng-ghosting kan saya sehingga proses putus kami menjadi singkat, padat dan painless. So this is what ghosting without “baper” be lyke…

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *