Penulis: Firsa Amanda | Editor: Ratna MU Harahap

Pernahkah Observer sadari ketika melihat foto-foto lawas, kita sering mendapati orang-orang pada masa itu menampilkan ekspresi datar meskipun foto tersebut diambil pada momen bahagia mereka. Namun ternyata, ada alasan tersendiri mengapa orang-orang di masa lalu jarang tersenyum saat berfoto. Mari kita ulas penyebabnya!

Pertama kali dikembangkan pada akhir tahun 1820-an, fotografi menggabungkan seni dan ilmu pengetahuan menjadi satu media yang mampu menangkap momen dalam gambar. Inovasi ini mengubah sejarah yang terekam menjadi sesuatu yang dapat didokumentasikan dalam bentuk gambar serta teks. Seiring perkembangan teknologi, media ini meledak popularitasnya, memungkinkan keluarga untuk membuat snapshot kenangan agar bisa diapresiasi oleh generasi mendatang. Foto-foto dari masa awal fotografi dapat membawa kita “kembali ke masa lalu” dan memberikan gambaran kehidupan yang berbeda dengan kehidupan saat ini: jumlah anggota keluarga lebih banyak, model pakaian lebih besar/longgar, orang-orang berfoto dengan postur tubuh kaku/tidak rileks dan ekspresi formal.

Ekspresi serius dalam foto kuno mungkin membuat kita berasumsi bahwa generasi masa lalu menjalani kehidupan yang berat dan tanpa kegembiraan. Namun, kurangnya kegembiraan dalam snapshot ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor lain. Inilah kebenaran di balik ekspresi serius dalam foto lawas.

  1. Waktu Pemaparan yang Lama (Long Exposure Times)

Pada awal fotografi, periode long exposure membuat memotret orang menjadi tidak praktis. Exposure dalam fotografi adalah jumlah cahaya yang mencapai sensor atau film kamera selama proses pengambilan gambar, yang dikontrol melalui kecepatan rana, aperture, dan sensitivitas ISO. Misalnya, “Pemandangan dari Jendela di Le Gras” tahun 1826 oleh penemu Prancis, Nicéphore Niépce, yang dikreditkan sebagai foto tertua yang masih ada, membutuhkan waktu exposure selama delapan jam. Butuh lebih dari satu dekade sebelum penemuan daguerotype oleh Louis Daguerre pada 1839 membuat potret fotografi menjadi praktis. Namun bahkan saat itu, prosesnya relatif lambat dan rumit yang mengharuskan subjek untuk tetap diam selama 20 menit.

Pada awal 1840-an, teknologi fotografi sudah maju, dan gambar daguerotype yang dulunya membutuhkan 20 menit hanya butuh 20 detik untuk diproses. Namun, bahkan subjek foto modern memahami kesulitan untuk mempertahankan senyum terbuka untuk waktu berapapun. Hanya butuh beberapa detik sampai senyum candid berubah menjadi sesuatu yang lebih mirip ringisan canggung. Siapa pun yang pernah berurusan dengan anak-anak yang sulit diam dapat membuktikan bahwa tetap tidak bergerak lebih dari beberapa detik merupakan tantangan berat. Untuk meminimalkan gerakan dan menjamin gambar yang tajam, anak-anak terkadang dimasukkan ke dalam alat pengekang selama pemotretan. Selain itu, hingga abad ke-20, biaya peralatan fotografi dan bahan kimia yang berbahaya yang dibutuhkan untuk memproses film membuat sebagian besar foto diambil oleh fotografer profesional yang bekerja di studio atau berpindah dengan peralatannya. Sesi pemotretan merupakan kegiatan yang memakan waktu dan mahal; bisa memakan biaya rata-rata tiga bulan gaji atau lebih bagi seseorang, dan seseorang mungkin hanya difoto beberapa kali dalam hidupnya.

Persyaratan untuk tetap diam, dikombinasikan dengan biaya difoto oleh fotografer profesional yang mahal,  menciptakan suasana di mana lebih mudah untuk mempertahankan ekspresi netral atau serius. Namun bahkan setelah teknologi yang ada dapat menangkap ekspresi yang lebih santai, butuh waktu lama sebelum tersenyum dalam foto menjadi norma.

2. Fotografer Awal Meniru Pelukis Potret

Meskipun keterbatasan teknologi sering dikutip sebagai alasan ekspresi serius dalam foto kuno, itu bukan satu-satunya alasan mengapa nenek moyang kita seringkali tampak serius di depan kamera. Satu fitur yang disamakan oleh potret karya seniman dari abad ke-17 dan ke-18 dan foto dari awal abad ke-19 adalah kehadiran ekspresi stoik dan enigmatis di wajah subjek. Seperti yang diamati pelukis potret Miss La Creevy dalam novel Charles Dickens Nicholas Nickleby, hanya ada dua jenis ekspresi dalam potret: “serius dan senyum yang dipaksakan.” Sebelum fotografi, lukisan potret adalah satu-satunya cara untuk mengabadikan gambar seseorang untuk dikenang. Melukis potret adalah kegiatan yang dikaitkan dengan kekayaan dan status sosial, dan karenanya, bentuk seni ini memiliki aturan dan ekspektasinya sendiri. Potret formal ini terbukti menjadi pengaruh besar bagi fotografer awal, yang menampilkan subjek mereka dengan cara yang mewakili status sosial, pekerjaan, atau minat lainnya. Norma sosial yang terkait dengan lukisan potret dilanjutkan ke dalam potret fotografi, dan tersenyum tidak dianjurkan.

3. Etiket Sosial Tidak Mengizinkan Tersenyum

Pada awalnya, di era di mana perawatan gigi tidak tersedia secara luas dan senyum lebar dianggap tidak pantas atau bahkan mengisyaratkan hal negatif tentang seseorang, fotografi tidak mendorong senyum dalam potret. Sebaliknya, dalam budaya Victoria di Inggris, fotografer meminta subjek mereka untuk mengucapkan kata “prunes” untuk menciptakan ekspresi yang lebih diterima secara sosial pada saat itu, yaitu dengan mengerutkan bibir alih-alih tersenyum lebar.Namun, dengan munculnya demokratisasi fotografi oleh perusahaan seperti Kodak pada awal abad ke-20, praktik ini mulai berubah. Fotografi menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat umum, dan norma-norma sosial seputar senyum dalam potret juga mulai berubah. Senyum menjadi lebih umum dan diterima dalam potret, dengan arahan modern seperti “say cheese!” menjadi norma baru, mendorong orang untuk menampilkan senyum lebar dan gigi mereka.

4. Revolusi Kodak

Saat fotografi menjadi lebih terjangkau pada akhir abad ke-19, berbagai macam orang mengambil dan menjadi subjek dalam foto, dan apa yang dapat diterima dalam potret fotografi menjadi lebih beragam. Pada 1888, pendiri Kodak George Eastman memulai revolusi fotografi yang menempatkan kamera di tangan fotografer amatir dan memberi mereka buku petunjuk tentang cara mengambil foto yang baik. Pada tahun 1900, kamera Kodak Brownie dipasarkan untuk anak-anak dan dijual seharga $1, menciptakan tren fotografi yang menarik bagi orang dewasa juga. Pada tahun 1920-an, seabad setelah foto pemandangan pertama kali direkam di film, postur yang lebih santai dan berbagai ekspresi, termasuk senyum dengan mulut tertutup dan terbuka, menjadi hal yang umum baik dalam fotografi amatir maupun profesional. Dengan munculnya fotografi berwarna, popularitas foto candid, dan meningkatnya kamera pribadi yang terjangkau, menangkap berbagai ekspresi – termasuk momen kegembiraan yang sesungguhnya – menjadi standar.

Jadi itulah mengapa orang terlihat tidak tersenyum di foto-foto kuno. Keterbatasan teknologi, norma sosial dan budaya saat itu, serta biaya yang terkait dengan memotret pada masa awal fotografi menyebabkan kebanyakan orang mempertahankan ekspresi netral atau serius. Seiring waktu, kemajuan teknologi dan norma sosial yang berkembang memungkinkan lebih banyak spontanitas dan kegembiraan untuk ditangkap dalam foto. Jadi hapuskan asumsi bahwa orang-orang di jaman kakek – nenek kita adalah orang-orang yang hidupnya kurang bahagia.

About Author

The Observer magazine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *