Saya baru saja menonton ulang film Before Sunrise. Film ini bercerita tentang seorang pemuda Amerika yang bertemu secara tidak sengaja dengan seorang gadis Perancis bernama Celine di kereta menuju Vienna. Percakapan di dalam kereta dirasa memiliki koneksi luar biasa buat mereka berdua sehingga keduanya memutuskan untuk menghabiskan satu malam bersama menelusuri kota Vienna sambil menunggu pesawat yang akan membawa Jesse pulang ke Amerika Serikat keesokan paginya.
Percakapan yang “nyambung” diantara keduanya membuat malam terasa indah dan rasa cinta dirasakan keduanya. Keduanya berpisah di akhir film, tetapi di seri kedua dan ketiga trilogy ini, keduanya disatukan kembali oleh takdir dan nasib yang mempertemukan mereka bertahun-tahun setelah pertemuan pertama mereka itu.
How many times do we feel like we’re deeply connected with somebody and thought that he was the one?
Suatu malam di Boston, saya bertemu sesama pelajar Indonesia yang sedang berlibur ke Boston dari Los Angeles. Seorang mutual friends di Indonesia memperkenalkan kami, dan melalui email akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Malam itu saya dan dia tidak tidur. Hanya ngobrol. Cukup panjang, ngalor ngidul hingga membuat pelayan Ihop (franchise pancake yang buka 24 jam) cukup sebal melihat kita yang tidak pulang-pulang. Dari mulai bercerita tentang kelas yang menyebalkan sampai pertunjukan amal yang digarapnya untuk bantuan ke Indonesia. Dari mulai lu gue sampai aku kamu. We were deeply connected. By dawn, we were Celine and Jesse.
Tapi, setelah dia pulang ke LA keesokan harinya, sepertinya dia ditelan bumi.
Tiga tahun kemudian saya sedang membersihkan inbox saya ketika saya menemukan email lamanya. Saya membuat excuse untuk saya menkontaknya “saya mau membersihkan inbox kan? Hanya mau check, apakah email ini masih aktif”. Ketika dia membalas, dan ternyata dia sudah pindah ke kota yang jaraknya hanya 45 menit dari kota saya tinggal, sepertinya universe sedang berpihak pada kami.
Dari e-mail itu, setiap hari kami pasti ngobrol via telepon. Tidak jarang semalaman kami tidak tidur untuk ngobrol. Weekend, either saya yang ke kotanya atau dia yang ke kota saya. Dari hubungan ini, saya belajar mencintai diri saya sendiri apa adanya. Gak kuatir salah ngomong, gak kuatir lemak saya yang nongol-nongol dikit. Saya juga kembali mencintai akar saya sebagai orang Indonesia karena dia, walaupun sudah jauh lebih lama tinggal di Amerika, jauh lebih cinta negeri ini dibandingkan saya. Saya kembali menari Bali, mulai menghabiskan weekend untuk memperkenalkan negeri ini ke musium-musium di kota sekitar. Dia bercerita tentang hatinya yang masih sakit karena berpacaran lama tetapi berbeda agama. Sehingga, kami sempat membicarakan upacara perkawinan seperti apa yang ideal. Kali ini, kami menjadi Celine dan Jesse selama 18 bulan. Bicara ngalor ngidul sambal merasakan connection.
Hingga suatu weekend, dia datang ke New York bersama mutual friend kami sama-sama kenal, yang dia perkenalkan sebagai pacarnya.
Did I expect too much on love?
Probably. But, let it be. Expectation is good , just remember that sometimes, it requires the universe to conspire for our benefits. Expectation is what keeps us going. Kesempatan kedua, ketiga, keempat? Your Jesse or your Celine is out there. So let’s keep expecting on love!