Musim semi 20 tahun yang lalu adalah kali pertama saya bertemu dengannya. Musim itu menandakan semester kedua dari empat semester yang harus saya jalankan untuk mendapat gelar Master saya di Amerika Serikat. Walaupun musim semi adalah saat yang tepat setepat-tepatnya untuk berselonjor di taman karena hawanya yang tidak dingin tapi juga tidak menyengat seperti di musim panas, tapi di hari Sabtu pagi itu, jam delapan pagi saya sudah nongkrong di Computer Lab di kampus siap mengerjakan tugas kelompok Statistik dengan Jacek, teman saya berwarganegara Polandia.

“You’re in my human resources class right?” sapa seorang pria.

Ya ampun, warna mata biru tua itu ternyata sangat indah. Saya sempat bengong sebentar melihat mata itu. Belum pernah saya lihat mata berwarna biru tua seperti itu. Saya tidak pernah memperhatikan cowok ini tapi saya ingat dia ada di kelas HR saya memang. Rasanya ingin saya kasih kode supaya Jacek tidak usah datang atau datang terlambat saja. Apa daya, si anak rajin itu muncul tepat waktu.

Dengan berat hati, saya harus meninggalkan obrolan saya dengannya. Entah berkah, entah nasib, Jacek ini sangatlah detil sedetil-detilnya. Tampaknya tidak ada satu outlierpun yang luput dari kacamata tebalnya. Jam 12 siang, saya sudah siap menendang meja karena Jacek sibuk membahas satu persatu titik titik dalam random walk model yang kami hasilkan. Ketika email notification saya bunyi.

“Hang in there.  You’re cute when you pout like that, you know!”

Si mata biru ternyata masih ada di lab yang sama, sengaja duduk jauh di belakang saya. Empat jam kemudian, saya masih duduk di sebelah Jacek, sibuk berbalas email. The most flirtatious emails I’ve ever gotten in my whole entire life. Sorry Jacek, outliers and the random walk model can vammosh! Saya meninggalkan Computer Lab sore itu dengan senyum bingah. Saya maafkan keajaiban Jacek dan kedetilannya yang memberikan saya kesempatan untuk berbalas email sepanjang hari. He asked me out!

Jam 8 malam dengan standard little black dress, saya membuka pintu apartemen untuk dia yang datang dengan sekuntum tulip kuning. Ini membuat mawar merah benar-benar kehilangan kekerenannya.

“Did you know that yellow tulip means hopelessly in love?” Gulp. Nyengir. Speechless.

Berjalan dari apartemen saya ke tempat parkir, saya masih jalan pelan-pelan antara jaim karena ini date pertama dan grogi gak karuan.

Ketika dia berhenti di depan sebuah mobil truck dan membuka pintu untuk mempersilahkan saya masuk, segala kejaiman pun runtuh. Asli saya ngakak sengakaknya. Pernahkah observer ngedate diatas truck? (truck kecil sih, but still)

Mata biru itu pun ikut tertawa.

“You’ve never gone out with a southern guy I take it? Buckle up!” Katanya sambal menyalakan tape di mobilnya.

Dan ketika lagu-lagu country diputar keras, segala kejaiman pun runtuh. Malam itu, dia sukses menjadi date paling romantic sekaligus teman paling kocak saya. Semenjak itu, saya dan dia menjadi salah satu pasangan legend program kami.

“I’m gonna miss you” katanya sambil menyerahkan sebuah kotak biru di Airport ketika saya akan naik pesawat untuk pulang ke Indonesia untuk liburan musim dingin saya. The very classic blue box with a white ribbon on it.

“It’s a silver Tiffany’s. For now.” Katanya, then wink.

Ah, cincin ini akan membuat saya bertahan selama sebulan di Indonesia dan gak akan bertemu dia.

Hingga saat ini, di ruang keluarga di rumah Mama di Bandung, bertengger foto keluarga raksasa yang diambil pada bulan Desember tahun 2000 ketika saya pulang berlibur saat itu. Masih ada Papa dan senyum kami luar biasa ceria. Mama tidak mau mengganti foto itu karena walaupun jadul itu foto terlengkap keluarga kami sebelum para cucu hadir dan saking lamanya saya tinggal di luar negeri, kami tidak punya foto keluarga lain yang lebih baru selain itu.

Ketika 1 setengah tahun setelah tulip kuning pertama itu diberikan, saya harus pindah ke New York City untuk bekerja sementara Travis masih harus melanjutkan studinya satu tahun lagi, dia pun mengantar saya ke New York. Sibuk membantu saya menata apartemen, memasang tirai, mengangkut dan membereskan barang-barang saya. Di hari dia kembali ke kampus kami, dada saya terasa berat. Entahlah. Tapi, saya tahu, Travis bukan orang yang bisa berhubungan jarak jauh. Tidak lama, dia hilang ditelan kesibukan kampus dan gadis barunya. Saya lenyap ditelan ambisi dan harapan di tempat kerja baru yang super kompetitif.

Hubungan kami memang tidak berlangsung lama. Tapi, dua puluh tahun kemudian setiap kali melihat foto keluarga di ruang tamu Mama, saya masih tetap harus menatap cincin yang salah di jari manis saya.

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *