Demi mengejar keuntungan besar dalam waktu singkat, kita bisa tergiur dengan investasi bodong. Observer pasti pernah dengar kasus Bernie Madoff yang mengguncangkan dunia di tahun 2008 kan? Ini salah satu contoh investasi bodong paling heboh di abad ini. Setelah 28 tahun menjalankan ponzi scheme, akhirnya keruntuhan Bernie Madoff menyebabkan kerugian sebesar USD 65 juta dan mengguncang dunia keuangan Amerika dan sebagian negara-negara Eropa pada saat itu. Banyak orang kehilangan dana pensiun dan tabungan hari tua mereka yang hingga saat ini tidak dapat dikembalikan. Tidak kuat menanggung malu, salah satu anak Bernie sampai bunuh diri.
Investasi bodong tidak hanya berlaku di dunia saham atau forex tapi juga di dunia property. Ingat pengembang apartemen Royal Afatar World (RAW) dan Royal Mutiara Residence (RMR) di Sidoarjo, Jawa Timur, Sipoa Grup tidak kunjung merealisasikan proyeknya meski konsumen sudah membayar uang muka dan mengangsur cicilan hingga 23 kali. Selain itu terdapat pula aksi lain yang dilakukan PT Bandung International Property yang merupakan kelompok usaha dari Syna Group. Perusahaan itu memberlakukan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) secara mandiri (in house), namun hunian yang diinginkan konsumen tak kunjung terbangun.
Saya gak kebayang kalau investasi sebesar itu ternyata bodong! Apalagi apabila cicilan dilakukan dari hasil bekerja siang malam demi rumah impian. Kalau untuk investasi saham dan produk keuangan lainnya Observer bisa memeriksa OJK, untuk property, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, pengembang yang baik tentu punya rekam jejak yang mumpuni. Seharusnya, langkah ini kian mudah lantaran kemajuan teknologi. Semua perusahaan tentu memiliki rekam jejak digital. Coba kita lihat pengembang andalan kita Sinarmas Land. Bahkan tanpa perlu meriset rekam jejak digital, rekam jejak fisiknya sudah tidak perlu diragukan lagi karena BSD City sudah mulai dibangun semenjak tahun 1984. Bukan hanya rekam jejak pembangunan yang tidak bodong, tapi dengan perencanaan yang matang yang mencakup penggunaan keseluruhan lahan BSD City, kota terpadu ini berhasil mencetak record pertumbuhan nilai property yang cukup pesat. Dalam sepuluh tahun terakhir yaitu antara tahun 2008-2018, tercatat kenaikan harga tanah di BSD City mencapai 508% atau lima kali lipat.
Kedua, konsumen harus berani meminta dokumen perizinan kepada pengembang. Kunci paling aman, lanjut dia, adalah ketika pengembang minimal sudah bisa menunjukkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Apabila memang belum yakin, Observer sebagai konsumen berhak menanyakan perijinan ini. Kalau Observer melihat Asatti, Alesha, dan Caelus, tentu ini bukanlah menjadi masalah karena bangunan yang dimaksud sudah berdiri baik sebagian maupun keseluruhan.
Langkah terakhir, berhati-hati dengan iming-iming yang indah dan untung yang berlipat ganda. Tidak ada investasi yang tidak memiliki resiko kerugian. Tanya dengan jelas apa resiko yang Observer hadapi dari investasi tersebut, dan apabila dijawab “tidak ada resiko”, itulah warning sign pertama yang justru harus Observer kaji lebih lanjut. Konsultasikan dengan penasihat keuangan atau penasihat property apabila anda dihadapi pada penawaran investasi seperti ini.
Referensi:
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181019191952-83-339940/perlu-aktif-saat-beli-rumah-agar-tak-tertipu-developer-bodong – diakses 17 April 2019
- https://news.okezone.com/read/2018/11/27/338/1983448/tergiur-rumah-subsidi-rp100-jutaan-ratusan-konsumen-kena-tipu-pengembang-bodong – diakses 17 April 2019