Memasuki era Co Living bersama Alesha House
Era keberhasilan Co Working Space nampaknya akan mulai diikuti ole Co Living Space. Co Living sendiri di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal baru. Jaman dulu mungkin konsep ini dikenal dengan kos-kos an. Namun, hunian dengan konsep Co Living ini menawarkan lebih banyak communal facilities.
Kita ambil contoh dari The Collective, yang terletak di kawasan London Utara. Bangunan ini dihuni oleh 550 penghuni dengan biaya sewa sekitar 1,085 poundsterling/bulan (sekitar Rp18,6 juta/bulan) untuk kamar seukuran kamar hotel tapi memiliki beragam communal space seperti cinema room, music venue untuk mini konser, perpustakaan/co working area, restoran, bar, swimming pool dan outdoor garden. Semua fasilitas ini gratis untuk para penghuni. Dan penghuni diberi keleluasaan untuk menyewa. Tidak ada ketentuan waktu penyewaan, bisa diatur apakan mau bulanan atau tahunan.
[URIS id=4991]
Para penghuni dari The Collective didominasi oleh kaum millenial berusia 37 tahun ke bawah, yang selama ini merasa repot dengan sistem penyewaan tempat di London yang mengharuskan mereka menggunakan jasa agen, mengeluarkan deposit, terikat kontrak dan ada biaya-biaya lain yang harus dibayarkan kalau mereka mau pindah. Di The Colective hal-hal seperti ini tidak ditemukan oleh para penyewa.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang Co Housing juga terus muncul di segala penjuru Eropa dan Amerika Serikat misal Quarters di Berlin, Ollie, Hubhaus, dan Open Door. Bahkan baru-baru ini Quarters mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan ekspansi besar-besaran dengan biaya 300 juta dollar.
Mengapa Co Living ini bisa sangat diterima oleh orang-orang Eropa dan Amerika Serikat? Salah satu pendapat adalah karena konsep Co Living ini menjual mimpi, dimana dengan tinggal di co living ini maka para penghuni akan menjadi bagian dari kehidupan yang modern, fleksibel, kreatif, dan penuh kebebasan.
Selain untuk pasar millenial, di Eropa konsep Co Living ini juga bisa diterapkan untuk orang lanjut usia yang masih sehat dan produktif. Contohnya adalah the Older Women’s Co-Housing project (Owch) di Barnet, London. Yang merupakan bangunan 25 unit apartemen yang semuanya dihuni oleh wanita berusia di atas 50 tahun. Alih-alih gym atau cinema room, OWCH lebih memilih untuk mengembangkan taman bersama, dimana setiap penghuni punya space yang bisa ditanam tanaman favorit mereka masing-masing. Taman ini yang akan menjadi pusat sosialisasi mereka sehari hari.
[URIS id=4953]
Terus terang setelah membaca beberapa artikel mengenai Co Living Space ini akhirnya saya berani untuk membeli unit di Alesha House, yang terletak di Cluster Vanya BSD City. Kecenderungan kaum millenial yang lebih suka menyewa, tanpa keterikatan atas kepemilikan dan tanggung jawab menjadi faktor utama bagi keputusan saya ini. Apalagi BSD City sendiri sekarang sudah memiliki 7 universitas dan kantor–kantor besar seperti Unilever yang berlokasi disini. Jenjang usia para mahasiswa dan pekerja muda inilah yang akan menjadi target market utama saya.
Saya dan keluarga akhirnya memutuskan untuk membeli 1 blok Alesha House, yang sudah dilengkapi dengan kolam renang di tengahnya. Satu communal space sudah tersedia tanpa harus kita bangun sendiri. 1 unit rumah kami rombak menjadi communal space dimana para penghuni bisa menggunakan lantai dasar sebagai cinema room atau lounge untuk mereka bersantai bersama, lantai dua kami gunakan sebagai library dan co working space sementara lantai tiga kami fungsikan sebagai studio untuk mereka yang ingin yoga atau pilates bersama. Setiap unit akan memiliki dapur dan ruang makan bersama. Sehingga akan mengakomodir kebutuhan akan hunian yang terjangkau tapi memiliki beragam fasilitas dan kemudahan yang berlokasi tidak jauh dari pusat aktivitas mereka.
[URIS id=4999]
Sumber :
- https://www.theguardian.com/cities/2019/sep/03/co-living-the-end-of-urban-loneliness-or-cynical-corporate-dormitories
- https://www.forbes.com/sites/bizcarson/2018/03/08/hubhaus-roommates-coliving-san-francisco-los-angeles/