Penulis: Firsa Amanda | Editor: Ratna MU Harahap

Sudahkan Observer merayakan hari valentine bersama orang tersayang di 14 Februari lalu? Hari Valentine adalah momen yang tepat untuk merayakan cinta dan ada berbagai cara kreatif untuk mengungkapkan perasaan kasih sayang tersebut. Berbagai cara diberikan demi membahagiakan pasangan, salah satunya kisah tentang seseorang yang menghadiahkan perjalanan ke luar angkasa sebagai pengalaman tak terlupakan. Melalui kemitraan dengan perusahaan antariksa swasta, pasangan tersebut mendapatkan kesempatan untuk melihat Bumi dari luar angkasa bersama-sama.

Namun, siapa sangka, pengungkapan rasa cinta yang romantis telah memancar sejak zaman kuno, meskipun ekspresi perasaan cinta tidak jauh berbeda dengan cara kita melakukannya saat ini, namun tentunya nuansa yang berbeda. Orang-orang kuno sering mengekspresikan kasih sayang mereka melalui bentuk-bentuk yang mungkin terasa unik bagi kita, tetapi memiliki kedalaman makna tersendiri.

Lebih dari 4.000 tahun yang lalu, Di masa Mesopotamia, tepatnya sekitar tahun 2000 SM, muncul sebuah puisi cinta kuno, yang sekarang dianggap sebagai puisi cinta tertua di dunia. Dalam puisi ini, terdapat ungkapan perasaan kasih sayang antara dua tokoh utama, yakni Inanna, dewi cinta Sumeria, dan Shu-Sin, raja kota Ur. Kisah cinta mereka diabadikan melalui kata-kata indah yang mencirikan kekuatan dan keindahan perasaan romantis. Meskipun perasaan tersebut terungkap dengan nada yang sangat puitis, perlu dicatat bahwa konteks puisi ini memiliki makna lebih dalam.

Pada dasarnya, “The Love Song for Shu-Sin” juga berfungsi sebagai bagian dari ritual keagamaan. Diketahui bahwa setiap tahun, raja Sumeria, Shu-Sin dalam hal ini, secara simbolis dianggap sebagai pasangan dari dewi Inanna. Upacara ini dimaksudkan untuk menjamin kemakmuran dan kelimpahan panen bagi masyarakat. Oleh karena itu, puisi ini tidak hanya merupakan ungkapan cinta antara dua tokoh, tetapi juga memiliki tujuan keagamaan yang lebih besar.

Sejumlah detail dari ritual tersebut masih menjadi misteri, keberadaan puisi ini memberikan wawasan tentang bagaimana cinta dan spiritualitas saling terkait dalam konteks kehidupan masyarakat Mesopotamia kuno.

Menariknya, ini mengingatkan kita pada perayaan hari Valentine di zaman sekarang. Meskipun konteksnya berbeda, esensi mengenai menyatukan cinta dan keberkahan tetap ada. Kita mungkin tidak lagi menggunakan cuneiform atau melibatkan dewi-dewi dalam upacara pernikahan, tetapi pesan cinta dari zaman kuno tetap berdampak pada cara kita memandang romansa.

Bayangkan betapa luar biasanya upaya yang dilakukan orang-orang zaman dahulu. Puisi cinta ini bukan hanya sekadar kata-kata romantis, melainkan diukir dengan susah payah di atas batu. Bayangkan bagaimana setiap goresan memancarkan perasaan dalam yang menjadi warisan sepanjang zaman. Jika dibandingkan dengan keadaan saat ini, pengungkapan perasaan dan pemberian hadiah semudah dengan mengoperasikan HP.

Maka dari itu, bagi Observer yang memiliki pasangan, terutama pria, yang mungkin merasa tertantang atau diminta untuk memberikan pengorbanan lebih untuk “hadiah” Valentine, bersyukurlah kalian tidak perlu menulis puisi di atas batu! Observer perlu mengingat juga bahwa cinta tidak mengenal batasan waktu. Bahkan puisi cinta tertua di dunia, yang ditulis 4.000 tahun yang lalu, masih memiliki daya tarik dan mempengaruhi cara kita memahami arti sejati dari cinta.

About Author

The Observer magazine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *