Penulis: Andria Harahap| Editor: Ratna MU Harahap
Bagi umat Hindu, Varanasi adalah kota paling suci sedunia. Dikisahkan, ketika Pandawa Lima, tokoh protagonist dari Kisah Mahabrata, memenangkan perang Bharatayudha melawan para sepupunya, mereka kemudian melakukan perjalanan ke Varanasi, untuk menebus dosa-dosa yang mereka lakukan selama berperang. Sejak itu, orang – orang yang melakukan Mokhsa, atau melepaskan diri dari semua ikatan keduniawian melakukan perjalanan yang sama menuju Varanasi.
Api pembakaran tak pernah padam di Varanasi, terutama di Manikarnika dan Harishchandra,lorong bertangga yang langsung mengarah ke Sungai Gangga, sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu, tempat dimana ketika meninggal nanti, prosesi pembakaran mayat dilakukan di sungai ini, dan abu hasil pembakaran juga dilarungkan di Sungai Gangga ini. Suasana di lorong ini tak pernah sepi, dari doa-doa yang didaraskan oleh mereka yang mendoakan jiwa anggota keluarga mereka yang sedang dibakar, udara pun selalu dipenuhi asap tebal dengan bau yang khas.
Tak heran kalau di Varanasi banyak didirikan akomodasi untuk menampung ‘kashivas’ – yaitu mereka yang datang untuk tinggal dan kemudian wafat disini.Salah satunya adalah Mumukshu Bhawan (yang berarti “mereka yang mencari keselamatan”) Guest House, yang menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka yang memang berniat untuk mati di sini. Manish Kumar Pandey, manajer dari guest house ini menyatakan banyak orang yang tinggal selama bertahun-tahun sebelum akhirnya mati di sini. Dari 116 kamar yang ada, 40 kamar dialokasikan khusus untuk para long stay guest ini.Setiap tahun, Mumukshu Bhawan menerima ribuan aplikasi, yang tentu saja harus diseleksi dengan ketat karena keterbatasan ruang.Yang jelas, persyaratan utama adalah berusia di atas 60 tahun, mampu untuk membiayai kebutuhan selama mereka tinggal di sini, dan masih memiliki keluarga yang akan mengurus proses pemakaman mereka nanti.
Disini para Kashivasharus membayar uang muka sebesar 100,000 Rupee atau sekitar 19 juta rupiah untuk bisa mendapatkan kamar yang bisa ditinggali sampai mereka meninggal nanti. Tentu saja biaya ini tidak termasuk biaya makan dan kebutuhan sehari-hari. Di sini beberapa kamar terlihat lebih luas, dilengkapi dengan AC dan dapur. Penghuni juga bisa mencari ART untuk membantu mereka melakukan tugas-tugas rumah seperti memasak dan bersih-bersih.
Namun, tidak semua akomodasi menerapkan hal yang sama. Situasi yang berbeda bisa kita temukan di Mukti Bhawan (‘Rumah Pembebasan’),tempat serupa namun dengan pendekatan yang berbeda.. Menurut Narhari Sukhkla, penjaga dari Mukti Bhawan, mereka yang datang kesini adalah mereka yang sedang melakukan penebusan dosa, sehingga mereka tidak perlu kemewahan duniawi seperti AC misalnya.
Di sini juga ada batas waktu tinggal, yaitu 15 hari, dan ketika penyewa masih hidup dan tidak meninggal selama masa waktu 15 hari tersebut maka mereka akan diminta dengan sopan untuk keluar. Kedengarannya memang kejam, tapi begitulah aturan yang mereka tetapkan disitu. Tamu hanya membayar 20 Rupee atau sekitar 4000 Rupiah per hari untuk biaya listrik. Aktivitas mereka hanya berdoa dan meditasi. Disini dilarang keras untuk melakukan aktivitas seksual, bermain kartu, makan daging, telur, bawang dan bawang putih.
Sukhla menerangkan “kami disini tidak pernah takut akan kematian, di Varanasi kami merayakan kematian. Mereka yang datang dipenuhi dengan harapan, bukan dengan rasa takut. Bagaimanapun Varanasi adalah kota dari Dewa Siwa yang merupakan dewa penghancur, namun dia menghancurkan sesuatu dengan tujuan untuk membangun hal baru. Seperti kata pepatah tua di India, “untuk mencapai surga, maka sebelumnya kita harus mati dulu”.
Referensi: