Hai Observer yang anak milenial! Hai Observer yang mau pensiun. Ini WAJIB DIBACA!
Saya bangga sekali lho bisa mengklaim diri saya sendiri sebagai seorang pensiunan “urban poor“. Observer pernah mendengar istilah “urban poor”? Saya pertama kali mendengar istilah ini ketika membaca sebuah artikel di BuzzFeed. Sambil baca, saya hanya bisa geleng – geleng, menarik napas tapi juga tertawa dalam satu waktu karena merasa tersentil habis – habisan.
Saya menganggap diri saya ini sudah resmi pensiun dari golongan “urban poor” karena, walaupun saldo bank saya masih sering “ngepas”, tapi, sekarang sih, 75% dana tersebut saya gunakan untuk membayar cicilan rumah dan apartemen saya. Dan, setelah beberapa tahun membayar cicilan, ternyata ya, “it feels sooo good” untuk menyaksikan kenaikan harga pasar properti – properti saya itu, bahkan hingga mencapai dua kali lipat! Walaupun harus diakui, jalan menuju titik ini cukup berliku.
Ketika lulus kuliah, saya langsung menerima tawaran pekerjaan yang saya terima tanpa berfikir panjang karena saya tahu bahwa saya tidak akan bertahan lama. Saat itu saya hanya memerlukan pekerjaan untuk memenuhi persyaratan pendaftaran program Master saya di Amerika Serikat (adik – adik yang sedang kuliah dan ingin melanjutkan sekolah di luar negeri, tolong langkah ini jangan ditiru! “Bad move!”). Nah dalam perusahaan tersebutlah saya mulai berkenalan dengan teman-teman “high-roller” saya. Dan, sebagai “ababil”, saya pun merasa harus “keep-up”. Dari sepatu merek Gucci, tas Prada sampai makan siang atau malam di hotel berbintang lima, saya paksa lakukan walaupun kantong sedikit (sebenarnya banyak) robek. Di masa itu, untuk makan “Hainan Chicken Rice” saja, saya harus duduk di Grand Hyatt Hotel di Jakarta, lho. Seperti sudah dibayangkan, gaji saya pun menguap tanpa bekas dalam waktu yang sesingkat – singkatnya. Untungnya saat itu, saya punya “magic credit card” yang mana, tagihannya, dibayar oleh Ibu saya tercinta. Telepon histeris Ibu saya ketika membuka tagihan kartu kredit saya itu belum berhasil membuat saya jera. “Excuse”-nya pada saat itu ya memang untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus ya harus gaul alias ber-“networking”. Selain itu, sepertinya prinsip hidup saya saat lebih condong mengikuti Bobby McFerrin: “Don’t worry, Be Happy!”.
Serius deh, “who cares? Why would I need savings?” Masa pensiun masih lama, badan sehat walafiat. Gak kepikir kenapa saya musti susah – susah nabung. Selain itu, pada saat saya mendapatkan gelar MBA saya nanti, saya akan mendapatkan “one of those fancy jobs” yang memungkinkan untuk saya membeli tas Prada setiap bulan, kan? Guess what? Pekerjaan dengan bayaran tinggi nan keren itu tidak pernah terjadi. Pada saat saya meninggalkan “New York City” untuk pulang ke tanah air, saya hanya punya beberapa ribu dolar dalam tabungan saya sebagai hasil bekerja lebih dari 5 tahun di salah satu Kantor Akuntan Publik (KAP) terbesar dunia atau yang biasa dikenal dengan istilah “Big 4 Accounting Firm”. Rencananya sih, saya ingin menabung hingga US$1,000 per bulan diawal masa kerja saya. Tapi, setiap kali selalu ada yang rasanya lebih mendesak untuk mengurangi beban stress saya dari pekerjaan. Yah, tentu saja ini sih hanya “lame excuse” saya. “How the heck did a Frederic Fekkai hair cut reduce my stress? All in all”, saya membuat satu dekade umur dua-puluhan saya dalam saldo bank yang nihil, bahkan negatif.
FYI: Hair cut di Frederic Fekkai adalah US$ 435 atau Rp 6,242,250, untuk kurs 1 dollar Amerika = Rp.14.350,- Blow out = US$75 atau setara Rp 1.076.250!
Tidak lama setelah anak kedua saya lahir, kok tetiba saya merasa tidak nyaman dengan saldo bank saya ya? Betul sih, saat itu, saya punya dana “emergency” hingga 24 bulan. Jauh lebih “solvent” dibandingkan alokasi dana “emergency” yang disarankan oleh para CFP (Certified Financial Planner) yaitu selama 3 bulan. CFP sendiri adalah sekumpulan “professional” yang ahli memberikan “advice” kepada perorangan mengenai investasi, waris, pengelolaan asset dan sejenisnya. Tapi, itulah asset saya satu-satunya, itu juga merupakan tabungan yang diberikan suami saya di awal pernikahan dan bukan sesuatu yang bersifat rutin. Yang pasti, jumlah tabungan tersebut tidak mungkin menutup kebutuhan pensiun saya. Belum lagi, kalau (“amit – amit”), sakit. Waduh! Yang lebih rumit, walaupun saat itu umur saya cukup muda untuk bangkit dan mulai menabung, masalahnya, saya tidak lagi memiliki karir cemerlang dihadapan saya dan walaupun saya tetap bekerja, rasanya tidak mungkin saya mendapatkan gaji setara seorang manajer “Big 4”. “Reality crept in”. Bagaimana saya bisa mendanai dana pensiun saya?
Kalau Observer dalam keadaan yang sama dengan saya, harus diakui, “peer-pressure” itu memang dahsyat. “The World Economic Forum” pernah mengeluarkan data rata – rata jumlah jam bekerja yang harus dilalui seseorang untuk membeli sebuah Iphone keluaran terbaru di enam kota besar di dunia. Di New York City, Observer hanya perlu 24 jam kerja. Bagaimana dengan Jakarta? Hm! Diperlukan 468 jam kerja saja Observer! Yah setaralah dengan 58,5 hari kerja! Otoritas Jasa Keuangan juga mengakui bahwa kesadaran untuk menabung di Indonesia belum setinggi negara tetangga seperti Singapore dan China. Di Indonesia pada bulan Maret 2018, persentase “savings” hanya 35.7% dibandingkan Singapura sebesar 48.2% dan China 46.4%. OJK juga mengakui bahwa salah satu penyebab rendahnya tingkat “savings” ini adalah karena rendahnya tingkat “financial literacy” di Indonesia.
Artikel ini bukan ditujukan untuk men-“judge” orang lho, Observer. Hanya ingin menekankan bahwa “saving” atau menabung perlu dilakukan sedini mungkin untuk menghindari dalam posisi seperti saya yang cukup berliku.
Coba deh, duduk dan dalami posisi keuangan Observer. Bagaimana semua asset yang Observer miliki saat dibandingkan dengan kebutuhan harian, bulanan hingga kebutuhan pensiun nanti. Secara kasar, begini hitungannya: Misalnya, Observer berencana pensiun di usia 65 tahun dan mengharapkan bisa hidup hingga umur 85 tahun. Maka, observer punya 20 tahun yang harus Observer danai dari dana pensiun. Kalau rata – rata saat ini pengeluaran Observer adalah sebesar Rp. 20,000,000 / bulan maka Observer memerlukan Rp. 4.8 Milliar untuk mendanai pensiun Observer! “Wuih!” Dan angka itu belum termasuk inflasi dan fluktuasi “lifestyle” masing-masing “individual”. Jadi bisa lebih tinggi ya.
Nah, kalau saat ini Observer berpenghasilan Rp. 30,000,000 dan Observer memerlukan Rp. 20,000,000 untuk kebutuhan sehari – hari dan bisa menabung hingga Rp. 10,000,000 per bulan, maka Observer memerlukan 40 tahun untuk mengumpulkan dana pensiun sebesar Rp. 4.8 M itu! Ok. Tenang Observer. “I’ve been in worse situation”. Dalam kasus saya, karena kesadaran menabung datang sedikit terlambat, maka saya melakukan beberapa hal:
1. “Revolusi Budget!” Tapi harus tetap “reasonable” ya. Contohnya, gak mungkin saya hapuskan anggaran ngopi dan makan di “café” saya hingga 100%. Tapi, saya batasi dari 3-4 kali per minggu menjadi 1-2 kali per minggu. Coba Observer lihat item-item anggaran Observer dan coba kurangi frekuensi pembelian Observer.
2. Coba mendapatkan “passive income” dan “capital gain”. Dalam kasus saya, saya beruntung mendapat sebagian uang warisan saya tidak lama setelah kesadaran beranggaran ini saya dapatkan. Pilihan saya, jatuh pada “property” karena terbilang lebih stabil dibandingkan saham atau reksa dana, tetapi juga sanggup memberikan “return” yang menarik dalam jangka panjang. Segera dana tersebut saya jadikan uang muka untuk pembelian rumah pertama saya. Tetapi, tidak semua berada dalam situasi seperti saya. JANGAN KUATIR! Dengan beragam developer dan jenis properti saat ini, Observer akan dengan mudah mendapatkan properti dengan “downpayment” sebesar NOL %. Hal ini pernah kita bahas di artikel sebelumnya “Wajib Kamu Tahu: Kenali Program Kemudahan Developermu”. Dengan adanya properti ini, saya bisa mendapatkan uang sewa untuk menambah penghasilan dan tabungan saya, juga mendapatkan capital gain dari kenaikan harga properti ini yang harapannya bisa menutup “kealpaan” saya dalam menabung selama beberapa tahun sebelumnya. Ingat, properti bukanlah satu-satunya asset yang menghasilkan “passive income” dan “capital gain”. Untuk ini, Observer bisa baca artikel “Wajib Kamu Tahu: Let’s Make Money While Eating Tahu”, ya.
Mencoba membayar dua cicilan sekaligus tentu berakibat saldo bank saya yang tersisa untuk “secondary activities or purchase” sering ada di titik yang memprihatinkan dimana semua pengeluaran benar-benar harus terhitung dan tidak “impulsive”. Tapi, saya bahagia karena sekarang saya punya saldo lain yang bisa saya gunakan untuk kondisi “emergency” dan hari tua. “The difference between the zero balance before and after my urban poor period was the leverage I have toward the uncertainties in the futures.”
“Be smart”, Observer dan sedia payung sebelum hujan, ya!
References:
1. https://www.indonesia-investments.com/finance/financial-columns/low-national-savings-people-of-indonesia-fail-to-save-incomes/item7328? – Diakses 4 Agustus 2018
2. https://www.ceicdata.com/en/indicator/china/gross-savings-rate – Diakses 4 Agutsus 2018
3. https://www.weforum.org/agenda/2015/12/who-has-to-work-the-longest-to-buy-an-iphone/ – Diakses 4 Agustus 2018