Penulis: Dian Prima | Editor: Ratna MU Harahap

Entah sudah berapa lama aku berdiam di dalam kamar mandi. Sambil menghela napas dalam aku memandangi wajahku di cermin yang aku gantung di atas meja wastafel. Sengaja kupilih cermin berukuran 50x60cm. Untuk berdandan sehari-hari aku tak perlu cermin terlalu besar. Segini saja aku sudah bahagia. Aku tak perlu cermin panjang yang bisa memperlihatkan seluruh tubuhku. Rasanya aku tak kuasa mengatasi insecure saat melihat bentuk tubuh yang tak lagi sekencang dulu. Perut yang mulai membuncit. Gelambir pada lengan atas. Area dada yang … ah, sudahlah. Untuk menghibur diri, sembari tersenyum aku berkata pada pantulan diriku di cermin, “Yang penting kita sehat selalu, ya.”

Oh ya, aku cukup sering melakukan hal tersebut. Berbicara dengan diriku sendiri, dengan anggota tubuhku. Bagi sebagian orang menganggap aneh untuk bicara dengan diri sendiri. Mungkin saja pernah diperkenalkan kalau bicara dengan diri sendiri identik dengan ada yang kurang “beres”. Padahal buat aku, menyempatkan waktu untuk bisa berkomunikasi dengan diri sendiri itu sangat berharga.

Berkomunikasi? Artinya dua arah, dong. Demikian komentar seorang teman ketika aku ceritakan tentang kebiasaan ini. Lantas ia bertanya, bagaimana bisa tubuh berbicara dengan kita? Alangkah mengerikannya kalau tangan punya mulut untuk berbicara.

Sebelum daya imajinasinya terlalu jauh dan semakin kusut, aku memberikan Gambaran singkat yang (semoga) mudah ia pahami.

“Beb, pernah nggak merasa tidak nyaman saat berbicara dengan orang yang baru pertama kali ketemu?”  

“Pernah!”

“Rasanya kamu ingin cepat menyudahi obrolan itu, kan? Padahal masih banyak yang harus disampaikan.”

“Aku pernah terjebak dalam sebuah obrolan yang bukan “aku” banget, sementara lawan bicara kurang peka dengan bahasa tubuhku,” jawab temanku penuh semangat.

“Nah! Ketika kamu merasa tidak nyaman, di saat itulah tubuhmu sedang memberikan sinyal.”

Walau ekspresinya terlihat bingung, tapi aku ngerti kalau dia mulai agak paham. Meski belum sepenuhnya, aku biarkan saja menggantung seperti itu. Kadang kita tak perlu menjelaskan sesuatu hingga tuntas. Kalau ia belum paham, pasti akan bertanya.

“Oh, pantas saja setelah itu aku terasa sangat lelah. Jadi, itu sinyal yang dikirim oleh tubuhku?”

Aha! Benar, kan, ia bertanya lagi. Berteman sejak 30 tahun lalu, jelas aku tak sekadar kenal dengannya.

“Kalau merasa lelah, artinya getaran tubuh sempat dipaksa untuk satu frekuensi dengan lawan bicaramu.”

“Kok… aku makin bingung, ya.”

Tanpa banyak berkata, aku cukup mengangguk sambil tersenyum.

Baiklah… Mari kita kembali ke topik awal di atas, berkomunikasi dengan tubuh kita.

Sampai tulisan ini diturunkan, usiaku sekarang adalah 50 tahun. Artinya, selama 50 tahun tubuh ini menemaniku beraktivitas. Apakah selalu sehat dan bugar? Aku manusia biasa yang tentunya pernah mengalami tidak enak badan. Secara fisik, aku masih beraktivitas normal. Secara mental, sesekali stress dan cemas datang menyerang. Tinggal di ibukota yang hiruk pikuk, ada saja yang mampir berkecamuk di pikiran. Ditambah lagi dengan urusan rumah tangga yang tak kalah dinamis.

Sekitar 5 tahun lalu, tepatnya sebelum pandemi, ketika leher mendadak tegang dan kepala langsung terasa nyut-nyutan, simpel aku menyebutnya migren. Layaknya majalah Intisari, obat parasetamol dan mbak pijat hadir setiap bulan. Apakah bisa sembuh total? Well, hanya untuk mengatasi sesaat. Begitu terus dan hadir secara rutin.

Lama kelamaan aku merasa tidak nyaman. Ada yang tidak benar dengan sistem tubuh dan pikiranku. Fix!

Disentil nyinyiran pedas dari mulut teman dekat, ternyata lebih baik dibanding sentilan semesta.

About Author

The Observer magazine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *