Penulis: Dian Prima | Editor: Ratna MU Harahap
Ada sebuah masa ketika saya lebih senang bercerita dan berbagi dengan kawan yang saya percaya. Seiring waktu, saya tak menemukan kepuasan batin dengan cara tersebut. Saya pun tersadar, bahwa saya hanya ingin bercerita dan didengar. Bukan untuk mendapat saran dan nasihat. Sebagai jalan keluarnya saat itu, saya lebih memilih untuk berbicara dengan diri saya sendiri ketika sedang merasa galau dan bimbang.
Mengapa saya harus masuk ke dalam sebuah situasi yang bikin asam lambung naik dan kepala bagian belakang cenat-cenut? Alhasil saya menemukan jawabannya, adalah ternyata saya sudah lama tidak bicara dengan diri sendiri, akibat terlalu sibuk dengan gawai, sosial media, dan segala aplikasi hiburan lainnya. Saya terlalu sibuk melihat aktivitas orang lain, sehingga lupa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri di sini kini.
Apa yang Kamu Butuhkan?
Tibalah di sebuah malam, saat saya sudah bersiap menikmati negeri impian, muncul satu notifikasi di telepon genggam.
“Selamat malam, Mbak,” kata pesan tersebut.
Awalnya saya enggan menanggapi. Apabila tidak diacuhkan, nanti saya merasa bersalah. Hadirlah secuil overthinking di malam hari menjelang tidur. Lampu kamar sudah sengaja saya redupkan. Film terbaru di Netflix sedang seru-serunya. Ditambah lagi, itu adalah menit-menit terakhir di akhir pekan menuju Senin.
Buka – tidak – buka – tidak.
Mengingat kondisi si pengirim pesan, akhirnya saya buka pesan tersebut. Benar adanya, bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
Sesungguhnya, sebelum saya mengijinkan diri saya untuk nyemplung ke dalam percakapan “berbobot” itu, ada yang ingin saya tanyakan padanya, apa yang kamu butuhkan dari saya? Untung saja saya urungkan pertanyaan itu, karena ia memang sedang sangat tidak baik-baik saja.
“Mbak, sepertinya kurang elok kalau saya nyuruh mbak buat sabar,” ucap saya sambil berpikir keras untuk menyusun kata-kata yang tidak menohok perasaannya yang sedang rapuh.
“Kenapa?” balasnya.
“Karena untuk sampai di tahap ini, mbak sudah menjadi perempuan seutuhnya yang luar biasa.”
Sejenak terdiam. Ia tak memahami bahwa dirinya sudah sangat luar biasa kuat.
Perempuan hebat ini terlalu lama memendam dan membiarkan negative self-talk berkembang liar di pikirannya.
“Mengasuh dua anak yang masih duduk di bangku SD di negeri orang dan tidak ada bantuan keluarga dekat, itu bukanlah peran yang nggak main-main,” lanjutku
“Saya tidak ada pilihan lain, mbak,” jawabnya singkat dan datar.
Meski percakapan dilakukan melalui whatsapp, tapi kalimat demi kalimatnya memancarkan getaran emosi yang sangat kuat. Baiklah. Saya yakin, bahwa saat ini ia sedang membutuhkan pertolongan. Semoga ia tidak salah orang, ya, telah memilih saya menjadi teman curhatnya malam itu.
Tanpa perlu mengeluarkan respon yang berlebihan, kemudian saya mengirimkan emoji peluk sebanyak tiga buah. Tak ada lagi respon dari seberang sana. Baiklah, saya semakin yakin, bahwa yang dibutuhkannya hanya seorang pendengar. Bukan pendengar yang mengeluarkan saran.
Selamat Tinggal Negative Self-Talk
Sedikit kembali pada cerita tentang saya di atas. Saat saya memutuskan untuk berhenti curhat dengan orang lain, ternyata saya belum sepenuhnya pulih. Itulah momen ketika saya lebih memilih mendengar apa yang ingin saya dengar. Sementara itu, saran dari orang lain, sebagian besar adalah sesuatu yang saya ingin hindari.
Kalau menurut Grief Cycle yang diciptakan oleh Kubler-Ross, saya masih berada di tahap Denial (penyangkalan). Tahap penyangkalan ini adalah tahap awal saat saya merasa terpuruk dalam sedih. Bukan semata-mata untuk berlagak seakan semua baik-baik saja, tapi saya juga sambil menyerap apa yang sedang terjadi. Artinya, perjalanan saya masih panjang untuk sampai ke titik akhir, yaitu acceptance (menerima) – titik di mana kesedihan dan penyesalan masih terasa, tapi tanpa rasa sakit akan kehilangan.
Untuk kembali bangkit, setelah lulus dari denial, saya harus melewati anger (amarah) – tahapan awal ketika merasa kehilangan dan saya tak ingin didekati orang lain; bargaining (negosiasi) – sebuah masa penyesalan sehingga saya ingin mengubah keadaan; dan depression (depresi) – dalam keputusasaan yang membingungkan, karena terasa kosong dan masih tidak ingin bersosialisasi .
Salah satu yang membuat saya bertahan di titik denial adalah negative self-talk. Istilah apa lagi itu? Self-talk adalah percakapan dengan diri sendiri yang mengkritik diri, membuat kepercayaan diri semakin menurun drastis, serta pikiran-pikiran liar yang berkata bahwa saya tidak cukup baik dan tidak pernah sempurna.
Singkat cerita, akhirnya saya bisa bangkit dari keterpurukan tersebut. Ingin tahu siapa yang jadi pahlawannya? Pahlawan tersebut adalah diri saya sendiri. Tentu saja setelah mencoba beberapa terapi, mulai dari berjeda dari dunia sosial media, memilah lingkungan sosial yang mengantarkan pengaruh positif, dan belajar pelan-pelan tentang mindfulness yang mengingatkan untuk selalu di sini kini.
Ah, saya terjadi teringat di sebuah pagi, ketika saya terlalu lengket dengan tempat tidur. Tubuh rasanya terlalu berat untuk diangkat, sementara saya sepenuhnya sadar. Detak jantung memang terasa agak lebih cepat dibanding biasanya. Mata berair. Saya sungguh sangat ingin beranjak dari tempat tidur. Kandung kemih ini sudah sangat penuh dan perlu untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sontak saat itu saya seperti mendapat tamparan yang sangat keras, sampai kapan kamu akan begini?
Saya paksa tubuh untuk bangun. Dimulai dari menggerakkan kedua kaki, ternyata saya masih bisa merasakan gerakannya. Secara perlahan saya pindahkan gerakan-gerakan tersebut, sampailah pada tubuh bagian atas. Horeeeee, saya bisa berdiri!
Usai menuntaskan panggilan alam, sejenak saya bercermin sambil berkata, “Hai, cantik… Kamu kenapa? Kamu itu perempuan kuat yang sangat aktif dan punya sejuta ide kreatif. Bangkit, yuk!”
Saya sudahi percakapan tersebut dengan senyum, sambil berjanji tak ingin lagi terjebak pada situasi insecure seperti itu. Kemudian saya keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang jauh lebih baik daripada 15 menit sebelumnya.