Penulis: Nasha Y. Lubis | Editor: Ratna MU Harahap
Selama masa pandemic ini, saya merasakan badan saya berubah, apalagi setelah saya dinyatakan positif dan sembuh. Sering kali saya tiba-tiba merasa dizzy alias pusing disertai sedikit mual, atau jantung yang berdebar-debar, terbangun dari tidur kemudian tidak bisa kembali terlelap. Entah sudah berapa kali bolak-balik tes darah dan tes kesehatan di laboratorium saya lakukan dari mulai tes kolesterol hingga tes jantung dan semua hasilnya normal. Saya ragu untuk ke Rumah Sakit atau bertemu dokter di masa-masa pandemic seperti ini tetapi kondisi ini juga mengganggu produktivitas saya yang bekerja dari rumah semenjak pandemic berlangsung mulai satu setengah tahun yang lalu. Saya cenderung menduga ini adalah gejala stress. Yang tidak jelas, apakah ini stress dikarenakan pekerjaan atau dikarenakan semakin panic dengan berita-berita duka dan tentang keganasan Covid yang belum terlihat tanda-tanda menurun di Tanah Air tercinta ini. Sebelum pandemi, kalau ada stress, biasanya olah raga bisa menurunkan stress saya, tapi sekarang, terkadang malah gejala dizziness semakin parah setelah berolahraga.
Karena enggan ke dokter, saya mulai alternative pengobatan dan saya mulai mengenal aromatherapy. Awalnya, aromatherapy sekedar mengingatkan pada nyamannya bersantai di spa. Luxury yang sangat sulit kita dapatkan di tengah pandemic seperti saat ini. Ternyata, aromatherapy lebih dari sekedar aroma yang memberikan kesan nyaman. Aromatherapy adalah pendekatan pengobatan alami dengan menggunakan minyak atsiri yang dihasilkan dari berbagai tumbuhan alami untuk meningkatkan kesehatan fisik dan jiwa. Di beberapa kebudayaan, seperti Jepang, Cina, dan Eropa, penggunaan aromatherapy ini sudah dilakukan selama ribuan tahun lamanya.
Para ahli berpendapat bahwa aromatherapy mengaktifkan bagian di hidung yang disebut smell receptor yang kemudian mengirimkan “pesan” melalui system syaraf menuju otak kita. Aroma tersebut kemudian mengaktifkan bagian dari Otak seperti limbic system yang berperan mengatur emosi kita. Dipercaya juga bahwa wangi ini bisa mempengaruhi hypothalamus yang dapat menghasilkan kimia baik dari otak. Sedangkan untuk aromatherapy yang dioleskan ke kulit, respon langsung dirasakan oleh otot dan persendian dan langsung terasa rileks.
Awalnya saya mencoba jenis balm untuk memudahkan tidur dan terbukti saya tidur lebih lelap. Saya mulai lebih banyak mencari tahu dan akhirnya menyadari bahwa Jepang memiliki berbagai essential oils khas Jepang yang memang diambil dari tumbuhan yang hanya tumbuh di Jepang. Saya mulai mencoba membeli essential oils dengan aroma Hinoki (Japanese Cypress), Cherry Blossoms, Hokkaido Hakka (peppermint), dan aroma lain yang mengingatkan saya pada damainya daerah luar kota di Jepang. Ini unik dan memang mentrigger banyak memory tentang happier and better days ketika travelling bukan merupakan barang langka seperti saat ini. Untuk minyak-minyak ini, saya memilih untuk menggunakan diffuser supaya aromanya bisa bertahan lama menemani saya yang sambil bekerja. Hokkaido Hakka bisa membantu menyegarkan pikiran yang sumpek karena berjam-jam bekerja di ruangan kerja di rumah yang jauh lebih kecil disbanding ruangan kantor, sementara Hinoki bisa membantu menenangkan pikiran yang sering melayang memikirkan kondisi pandemic ini.
Bukan Cuma wangi dan menurunkan stress, kalau Observer mau, aromatherapy Jepang ini juga bisa digunakan dengan berbagai diffuser yang berbentuk khas jepang seperti Wodden Difuser atau pemanggang kayu. Sehingga bisa menambah dekorasi.
Jadi kalau observer ingin menambah kesan homey pada rumah obersver yang memang sudah bernuansa Jepang, menambah aromatherapy scents melalui diffuser dan menggunakan diffuser-diffuser unik ini bisa membuat rumah semakin nyaman untuk bekerja dengan bonus memberikan calming-effect untuk menangkal stress selama bekerja di rumah. Apalagi dengan diffuser, aroma bisa bertahan lebih lama. Apapun dilakukan demi stay at home dan agar kita tetap sehat mengingat kondisi ini. Semoga pandemic cepat berlalu ya Observer!
